Innovation distinguishes between a leader and a follower. - Steve Jobbs

Rabu, 30 Juni 2010

Harry Potter, The Life after The Wizarding War II |Part 2|

Part II

Sarapan hari itu nikmat sekali, Harry, Hermione, dan Keluarga Weasley duduk bersama-sama di ujung meja Gryffindor di aula besar, bertukar cerita, dan tertawa, melupakan semua teror yang menghantui mereka di waktu silam, rasanya tidak pernah mereka sebahagia itu. Jenazah Fred Weasley, Remus Lupin, Nymphadora Tonks, dan para pejuang yang telah gugur lainnya akan disemayamkan siang ini. Para keluarga dari korban yang bersangkutan telah setuju untuk memakamkan mereka di halaman Hogwarts, di sebelah danau dekat makam pusara putih Albus Dumbledore. Meskipun beberapa keluarga tetap memilih untuk memakamkan sanak saudara mereka di kuburan dekat rumah mereka ataupun di halaman rumah mereka sendiri.

Tidak ada lagi teror ataupun kesuraman yangmenunggu di depan mereka. Harry, yang dulu mengetahui bahwa masa depannya adalah kematiannya di tangan Voldemort, merasa lega sekali, tersilaukan oleh kemungkinan-kemungkinan yang ada di masa depannya sekarang setelah selesainya pertempuran.

Harry duduk disebelah Ginny, tersenyum kepadanya, dia meletakkan tangannya diatas tangan Ginny yang lembut. Ginny balas tersenyum kepadanya. Harry tiba-tiba merasa lupa diri, seakan baru kemarin mereka pertama kali berciuman di depan seluruh anak Gryffindor setelah kemenangan mereka atas Piala Quidditch tahun itu. Dengan perlahan Harry menggerakkan tangannya ke pippi Ginny yang sudah mulai merona merah,sewarna dengan rambutnya, Harry membelai pipinya menggunakan ibu jarinya dan tak bisa lagi menahan dorongan untuk melakukannya. Maka Harry pun mencium Ginny. Hermione dan Mrs Weasley terpana melihatnya dan para anggota Weasley lainnya bersorak. Sorakan mereka menarik perhatian semua orang di aula, yang semuanya segera menoleh melihat Ginny dan Harry, dan ikut bersorak dan bersiul.

Ginny melepasakan ciuman Harry, berganti mencium pipinya dan nyengir melihat muka Harry yang merona. "Kau hebat, bung," kata Ron sembari menepuk pundak Harry dari seberang meja dengan tangannya yang panjang. Kermunan orang yang bersorak dan bersiul mereda dan mulai melanjutkan sarapan mereka yang terputus.

"Selamat pagi, semua," sapa seorang wanita, Mrs Weasley mendongak untuk memandang wanita tersebut dan langsung bangkit dari duduknya dan berjalan mengitari ujung meja, menghampiri Andromeda Tonks yang baru saja datang. Dia sedang menggendong bayi yang tertutup oleh selimut biru muda yang dililit ke tubuhnya yang mungil. Mrs Weasley memeluknya.

"Aku turut berduka cita, Dromeda" katanya,"Aku menyayanginya seperti anakku sendiri," lanjutnya dengan mata berkaca-kaca."Tidak apa-apa, Molly, aku mengerti. Suamiku dan putriku meninggal dunia dalam usaha mereka untuk menghentikan," suaranya tercekat dalam usahanya menyebut nama Voldemort, "Voldemort," ucapnya lirih.

"Duduklah, Dromeda," ucap Mr Weasley. Mrs Tonks duduk di tempat kosong di sebelah harry. Mrs Weasley pun kembali ketempat duduknya. "Bagaimana keadaan si kecil Ted?" tanya Mr Weasley. "Dia baik-baik saja. Dia menangis saat Tonks meninggalkannya untuk bergabung dalam pertempuran. Bayi yang tegar dia ini." jawab Mrs Tonks dengan penuh kasih sayang yang terpeta di setiap perkataanya. Senyum merekah diwajah semua yang mendengar. Si bayi sedang tertidur sangat pulas, warna rambutnya merah muda keruh. Mungkin dia menyadari bahwa dia telah kehilangan kedua orangtuanya.

Harry tiba-tiba merasa mual, perutnya kembali dipenuhi gejolak rasa bersalah. Salahnya lah Ted Lupin harus tumbuh dewasa tanpa orang tua. Harry tahu rasanya hidup tanpa orang tua, karena itu dia tidak ingin si bayi merasakan penderitaan yang telah dia rasakan. Dia ingin si bayi mempunya orang-orang yang akan selalu ada untuknya selayaknya orang tua, membuatkan sarapan untuknya, mengantarnya kesekolah, dan membaluti luka-luka bekasnya berkelahi.

"Saya walinya, remus mengangkat saya menjadi ayah baptisnya," ucap Harry tanpa sadar, " Saya akan mengurusnya, saya ingin membesarkannya sebagai anak saya." Semuanya sepertinya terpana mendengar perkataannya, mulut mereka ternganga. Mata Harry bertemu mata Mrs Tonks, dan Harry lega sekali karena Mrs Tonks sepertinya mengerti maksud Harry, dia mengangguk.

"Tapi, Harry, kau masih tujuh belas tahun," sela Percy."Aku akan delapan belas tahun sebentar lagi." jawab Harry."Kau hanya bertambah satu tahun, bung, tidak ada artinya. Kau tidak akan keriput dengan hanya bertambah satu tahun, kan? dan kau ingin mengurus bayi? Lebih baik kau menciptakan mantra pengganti-popok-otomatis dulu." ucap George.

"Harry, dengarkan dulu," kata Mr Weasley ketika Harry hendak mengeluarkan argumennya, "Harry , kau masih terlalu muda, nak, kau belum bisa mengemban tanggung jawab sebesar ini. Mengurus anak membutuhkan biaya besar."

"Saya punya uang, Mr Weasley," jawab Harry, menjaga agar suaranya terdengar sesopan mungkin.

"Aku tahu, nak, uang peninggalan orangtuamu mungkin bisa menjamin hidupmu sampai tujuh turunan," kata Mr Weasley,"Tetapi, Harry, membesarkan anak butuh lebih dari sekedar biaya yang banyak. Percayalah padaku harry, aku sendiri telah membesarkan sembilan orang anak."

Harry hanya terdiam, mencerna perkatann Mr Weasley tadi. "Yeah, aku setuju dengan Dad, Harry, kau masih bocah, jangan tolol mengira kau mampu membesarkan bayi seorang diri." Ucap Ron. "Ya, Harry, kau bahkan belum punya pasangan." timpal Hermione.
"Apa maksudmu?" tanya Harry tidak sabar. "Maksudku, Harry, kau membutuhkan istri karena lebih baik membesarkan seorang anak dengan sentuhan wanita." jelas Hermione singkat.

Harry tersentak oleh penjelasan Hermione dan menoleh untuk menengok Ginny, yang menunduk sehingga rambut merahnya menutupi wajahnya yang merona merah. Tak pernah terpikirkan  oleh Harry sebelumnya, dia sangat menyayangi Ginny tetapi, membayangakn mereka menikah? Yeah, mungkin itu pernah terlintas di benaknya sebelum ini, tapi sekarang setelah tidak ada Voldemort di masa depannya, dia merasa gagasan menikahi Ginny menjadi sangat mungkin. Harry tak perlu lagi menahan perasaannya terhadap Ginny.

"Okelah kalau begitu," ucap Harry setelah kembali dari lamunannya. "Maukah anda Mrs Tonks, mengurusnya? Membesarkan Ted?" tawar Harry. "Oh, nak, tentu saja." ucap Mrs Tonks dengan mata berkaca-kaca. "Tentu saja, dia cucuku. Aku menyayanginya seperti darah dagingku sendiri. Jika kau sudah mampu untuk mengurusnya, aku akan dengan senang hati akan menyerahkannya padamu."

Harry mau tak mau tersenyum dan berkata, "Terima kasih, ini yang terbaik untuk Ted kecil."

Later on, keep on tracking.... :)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

part lainnya mana ?
:v

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More